Manajemen.umsdia.ac.id – Fenomena quiet quitting semakin ramai diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan milenial dan Gen-Z.
Istilah ini merujuk pada sikap karyawan yang memilih bekerja “secukupnya saja” sesuai deskripsi pekerjaan, tanpa melibatkan diri secara berlebihan dalam pekerjaan maupun kehidupan kantor.
Mereka tetap bekerja, tetapi menolak terjebak dalam budaya kerja yang menuntut dedikasi tanpa batas.
Fenomena ini menimbulkan dua pandangan besar. Di satu sisi, quiet quitting dianggap sebagai bentuk perlawanan sehat terhadap budaya kerja berlebihan atau workaholic culture.
Namun, di sisi lain, sikap ini kerap dipandang sebagai tanda menurunnya motivasi kerja dan hilangnya etos profesionalisme.
Perdebatan inilah yang membuat quiet quitting layak dikaji lebih dalam sebagai gejala sosial generasi muda di dunia kerja.
Baca juga: Lingkungan Kerja Nyaman Kunci Produktivitas Karyawan UMKM
Akar Fenomena Quiet Quitting
Milenial dan Gen-Z tumbuh dalam era serba cepat dengan tekanan tinggi di berbagai aspek kehidupan.

Dunia kerja modern menghadirkan tuntutan produktivitas yang nyaris tanpa henti, sementara keseimbangan hidup sering kali terabaikan.
Dalam konteks ini, quiet quitting muncul sebagai respons alami: mereka menolak memberi tenaga berlebih pada pekerjaan yang tidak memberi kepuasan emosional maupun pengakuan yang layak.
Tren ini juga dipengaruhi oleh perkembangan budaya digital. Media sosial menyoroti pentingnya kesehatan mental, waktu luang, dan kehidupan pribadi yang lebih seimbang.
Pesan-pesan seperti “work-life balance” dan “mental health awareness” memberi justifikasi moral bahwa tidak ada salahnya bekerja sesuai porsi, tanpa harus menunjukkan ambisi berlebihan.
Dengan kata lain, quiet quitting menjadi cara generasi muda menegaskan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Namun, faktor lain seperti ketidakpuasan terhadap gaji, minimnya peluang pengembangan karier, hingga lingkungan kerja yang tidak mendukung juga memperkuat tren ini.
Bagi sebagian karyawan, quiet quitting bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan strategi bertahan di tengah dunia kerja yang dianggap kurang adil.
Lihat juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Antara Protes Sehat dan Krisis Motivasi
Fenomena ini menimbulkan dilema interpretasi. Apakah quiet quitting merupakan bentuk protes sehat terhadap sistem kerja yang eksploitatif, atau justru gejala krisis motivasi di kalangan generasi muda?
Dari sudut pandang positif, quiet quitting dapat dipahami sebagai upaya generasi muda untuk memulihkan keseimbangan hidup.
Dengan bekerja sesuai jam kerja dan tidak terbebani ekspektasi berlebihan, mereka berusaha menjaga kesehatan mental sekaligus mencegah kelelahan kerja (burnout).
Dalam konteks ini, quiet quitting bukanlah bentuk kemalasan, melainkan strategi untuk tetap produktif tanpa mengorbankan diri.
Namun, di sisi lain, sikap ini juga berpotensi melemahkan semangat kerja. Ketika ambisi berkurang dan komitmen menurun, kualitas kerja bisa terdampak.
Perusahaan mungkin menghadapi tantangan dalam mendorong inovasi jika banyak karyawan hanya melakukan hal minimum.
Di level individu, kurangnya dorongan untuk berkembang dapat menghambat kemajuan karier dalam jangka panjang.
Dengan demikian, quiet quitting bisa dilihat sebagai cermin kontradiktif: ia adalah bentuk perlindungan diri sekaligus tanda adanya masalah motivasi yang belum terselesaikan.
Tantangan dan Jalan Tengah di Dunia Kerja
Fenomena quiet quitting seharusnya dibaca sebagai sinyal penting bagi perusahaan dan manajemen.
Jika karyawan muda merasa perlu menarik garis batas yang tegas, berarti ada sesuatu dalam budaya kerja yang perlu dievaluasi.
Tekanan berlebihan, sistem penghargaan yang tidak adil, atau peluang pengembangan diri yang terbatas dapat menjadi pemicu utama.
Dunia kerja perlu mencari jalan tengah: bagaimana menciptakan lingkungan yang tetap mendorong produktivitas tanpa mengorbankan kesehatan mental karyawan.
Perusahaan bisa menawarkan program pengembangan diri, sistem kerja fleksibel, atau apresiasi yang lebih adil.
Sementara itu, karyawan juga perlu mengelola motivasi internal agar tidak terjebak dalam zona nyaman bekerja “sekadar cukup”.
Pada akhirnya, quiet quitting adalah cermin perubahan paradigma generasi muda terhadap makna bekerja.
Mereka tidak lagi melihat karier sebagai satu-satunya sumber identitas atau kebahagiaan, tetapi hanya bagian dari kehidupan yang lebih luas.
Tantangan dunia kerja ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan organisasi dan aspirasi individu agar keduanya dapat berjalan seiring, bukan saling berbenturan.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah