Manajemen.umsida.ac.id – Model kerja hybrid kini menjadi salah satu pola kerja paling populer di berbagai organisasi.
Perusahaan dan institusi pendidikan mulai melihat fleksibilitas sebagai strategi penting untuk bertahan di tengah perubahan teknologi dan kebutuhan tenaga kerja masa kini.
Baca juga: Wisudawan Berprestasi yang Lolos 3 Pendanaan Dikti
Merebaknya Tren Hybrid Working dan Realitas di Lapangan
Hybrid working dipandang mampu memberikan kebebasan bagi karyawan untuk mengatur ritme kerja, menyeimbangkan kehidupan pribadi, sekaligus menekan biaya operasional organisasi.

Namun, di balik manfaat tersebut, hadir pula dinamika baru dalam manajemen sumber daya manusia.
Tidak semua karyawan memiliki kondisi kerja yang sama di rumah, dan tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan secara optimal tanpa tatap muka.
Tantangan seperti koneksi internet yang tidak stabil, komunikasi yang kurang efektif, hingga batasan antara ruang kerja dan kehidupan pribadi sering menjadi isu yang muncul.
Dalam konteks manajemen SDM, fenomena ini menuntut organisasi untuk lebih adaptif.
HR tidak hanya bertugas mengatur jadwal atau memantau kehadiran, tetapi juga memastikan kesejahteraan mental, beban kerja yang proporsional, serta mengembangkan strategi kolaborasi yang tidak mengurangi kualitas hasil kerja.
Lihat juga: Inovasi Ekowisata Desa Pandean Bawa Akmal Menjadi Wisudawan Berprestasi Umsida 46
Efisiensi Meningkat atau Justru Produktivitas Menurun?
Salah satu perdebatan terbesar dalam penerapan hybrid working adalah apakah model ini benar-benar meningkatkan produktivitas atau justru menciptakan tantangan baru.
Sebagian organisasi melaporkan bahwa kinerja karyawan lebih stabil dan efisien ketika diberi fleksibilitas.
Karyawan dapat bekerja pada waktu yang paling produktif bagi mereka, tanpa tekanan perjalanan panjang menuju kantor.
Efisiensi biaya, baik dari sisi organisasi maupun individu, juga menjadi nilai tambah yang signifikan.
Namun, tidak sedikit pula organisasi yang menghadapi penurunan kualitas koordinasi tim.
Minimnya interaksi langsung membuat beberapa tugas membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan.
Selain itu, muncul fenomena “silent overwork” yaitu kondisi ketika karyawan bekerja melebihi jam normal karena sulit memisahkan antara waktu kerja dan waktu pribadi.
Hal ini dapat berdampak pada kelelahan, stres, dan menurunnya kreativitas.
Pengelolaan SDM di era hybrid pada akhirnya membutuhkan pendekatan baru yang lebih humanis.
Organisasi harus mampu menggabungkan teknologi, empati, dan strategi komunikasi yang efektif agar hybrid working benar-benar menjadi solusi, bukan beban tambahan.
Pendekatan berbasis hasil (result-oriented), jadwal fleksibel yang terukur, serta penguatan budaya kolaboratif menjadi faktor penting untuk menjaga performa tetap optimal.
Pada akhirnya, apakah hybrid working membawa efisiensi atau ancaman produktivitas sangat bergantung pada kesiapan organisasi dalam mengelola SDM dengan lebih cerdas dan adaptif.
Yang jelas, pola kerja masa depan tidak lagi sekadar bekerja dari mana saja.
Melainkan bagaimana manusia tetap bisa bekerja dengan sehat, produktif, dan berdaya di tengah perubahan besar yang terjadi.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah

















